Berhenti Berjalan Ke luar Diri
Catatan Intelektual yang tersisa
Banyak hal yang saya kagumi dari Prof Agus Irianto. Satu di antaranya, soal visi dan misi. Keseimbangan dan harmoni. Kebaikan yang terukur dan terpada padai. Berbuat baik berpada padai. Berbuat jahat sekali tidak. Karena kebaikan tidak selalu ditafsirkan baik
Setidaknya kalau bertemu Prof Statistik ini, saya punya kesan istimewa. Beda Statistik, beda pula Kimia Fisik. Statistik belajar ‘memimpikan’ sesuatu. Kimia Fisik belajar untuk “mencintai” sesuatu. Keduanya sama sama membuat belajar atas pengalaman.
Setidaknya, pengalaman banyak bercerita. Salah satunya soal mimpi mimpi kehidupan. Soal mimpi dan hasrat, kerap menarik hati. Mimpi kepingin punya mahasiswa kelas dunia. Mimpi kepingin berbagi dengan mutu dan standar tinggi.
Realitanya mimpi membuat berjalan terus ke luar. Realitanya hanya ekspektasi yang makin membesar. Maunya, kalau memberi kuliah, serasa bersama dengan mahasiswa terbaik dunia. Maunya, saat memberikan pencerahan, serasa bahagia membuka cakrawala dunia. Tapi Sayang, semua yang dijumpa tak serasa dan sejiwa. Tapi Sayang, mahasiswa yang dicerahi tak lebih
sekedar pencari arti dan gengsi
Mata bertemu mata. Visi beradu visi. Nyali tak selalu pergi. Rupanya saya berada di kampus tercinta. Rupanya berada di tanah yang biasa. Rupanya berkelana tak jauh dari halaman rumah kita. Halaman rumah dengan bunga bunga yang manja .
Yang segera layu bila tak tersentuh gerimis hujan. Yang segera mati bila tak ada secercah matahari pagi. Yang hanya tersenyum saat dipuji. Yang membusuk bila dimaki dan terbebani. Bunga bunga yang tak ikhlas dan manja. Bunga bunga yang puas dengan kumbang kelapa. Yang tak tahu beda mutu dan gengsi.
Berhentilah berjalan ke luar diri, ini mungkin hikmahnya. Berhentilah bermimpi dengan mereka yang tak kuat dihantam badai. Berhentilah dengan generasi milenial yang penuh khayal. Berhentilah berharap sejuta cita cita dan masa depan. Karena pemimpi tetaplah lari. Karena pengikut tidaklah mau memikul cita cita. Lebih dari mata jangka dan anak panah.
Saya baru tersadar, kalau halaman rumah ini adalah masa lalu. Generasi ini adalah cerita lalu. Mereka hanya dongeng yang entah berantah. Mereka lugu dan bermimpi untuk lahir di sini. Mereka hanya bising dan mengisi sisa dimensi yang berkarat. Mereka hanya pelengkap bagi energi masa depan
Tapi mereka tetap berguna. Setidaknya, mereka berjasa untuk kesempurnaan masa depan. Tanpa kekurangan, tak akan ada kelebihan. Mereka amat berjasa untuk kesempurnaan yang lain.
Berhentilah berjalan ke luar diri. Berjalanlah ke dalam dan jauh tanpa batas. Berjalanlah dalam harapan yang sesungguhnya. Dalam diam dan sepi sekalipun. Tak perlu ada sinergi lagi, tertukar tangkap dengan lepas. Untuk apa mengguratkan sisi yang pasti akan hilang, percuma!. Untuk apa mengukir cita cita dalam cita cita yang telah terlampaui. Cukup, mimpi mereka hanya sepanjang ujung jari.
Terima kasih Tuhan, sejarah tetap akan berjalan. Biarlah halaman ini tetap ada, sebagai bahan pelengkap masa depan. Biarlah halaman ini tetap berumput, agar lebih nyaman dilewati. Bunga dan cemara, tak layak untuk ditumbuhkan di tanah ini. Karena tanahnya tak memiliki cinta yang kuat. Biarkanlah hanya alang alang menjadi penghias bahwa. Di sini pernah ada kehidupan, dan penanda perjalanan….
Payakumbuh, 9 February 2018