Belajar Santuy bersama Cinta

—–

Entah mungkin besar dan tumbuh di kaki Gunung Kerinci, energy itu kerap menendang. Entah mungkin karena lama besar di lingkungan yang terbatas Oksigen, belajar menjadi cepat, maka proses menjadi takaran tersendiri. Dibesarkan dengan Abak Amak dengan ala cepat dan sigap, makan cepat, mandi sigap, berjalan pun juga cepat, lahirlah kehidupan yang kerap membuat tuntutan menjadi terukur dengan kecepatan. Padahal, tak selamanya kecepatan menjadi ukuran dalam kehidupan yang fana ini, bukan?

—-

Bertumbuh kepingin cepat, berprestasi pun juga dituntut seperti ini. Kadangkala, hidup di negeri timur, Indonesia, apalagi di Sumatera Barat. Kecepatan kerap juga bikin kawan kawan gerah dan apriori, bahkan tidak menyenangi. Jadilah kita kerap berjalan sendiri, dan ujung ujungnya pun bekerja sendiri. Apalah jadinya jika ini terus berlangsung lama, berganti usia, dan semuanya berjalan hanya dengan kecepatan. Memang tak salah, tapi tak selalu demikian adanya.

—-

Belajar bersama Cinta tentang kesantunan, adalah kuncinya. Kunci untuk Santuy dan beretika, tanpa menuntut perubahan seketika, menjadikan kehidupan lebih bermakna dan bahagia. Biarlah semuanya berjalan dengan waktunya, dan hargailah perbedaan ini agar kedamaiaan selalu hadir sepanjang masa. Mala mini, kami bersama, belajar tentang Santuy dan Etika bersama Istri dan keluarga besar, Anak anak dan keluarga tercinta.

Transmart Padang, 23 November 2019

Kenapa Harus Takut

Menulis kisah ketakutan dan keberanian, memang tak kunjung usai. Masa kecil kerap jadi patokan, bagaimana kehidupan itu bertutur. Setidaknya pengalaman banyak bicara dengan realita, bicara apa adanya, bicara fakta, dan pembuktiaan atas sikap dan pilihan. Bahkan, apa yang kita terima hari ini, adalah konsekuensi dari pilihan masa lalu.

Berguru dari masa lalu, keputusan yang tak lazim memang menjadi hal unik untuk dijalani. Hari hari yang dipilih, terpilih dan memilih tak akan bisa dilupakan. Ada hal hal yang membuat tersenyum, menangis, tertawa dan bahagia yang tak dapat diungkapkan dengan kata kata. Sebutlah jalan jalan apa namanya, rasanya sudah bukan hal menakutkan lagi. Karena semua ketakutan ini menjadi titik balik perjalanan akhir kehidupan. “Hidup Sekali, Mati Sekali, dan Bukan Berkali Kali”, inilah hikmah jalan jalan yang hamper hamper menepi. Mungkin terbaik adalah bersyukur demi rasa itu sendiri atas kesempatan yang masih ada dan bonus kehidupan tak ternilai harganya.

Ketakutan itu berwujud abstrak sekaligus nyata. Adanya takut karena rasa memiliki yang tinggi, dan mencintai berlebih. Padahal kehilangan itu sebenarnya juga abstrak dan ilusi, karena hakekatnya tidak ada yang memiliki dan benar benar memiliki secara maknawi. Bukankah apa yang ada di langit dan di bumi hanyalah hak pakai dan akan lepas serta tertinggal, dittinggal atau meninggalkan kehidupan ini. Karenanya apalagi yang ditakutkan dari Kehidupan ini? Takut dan Berani, bedanya hanyalah bilamana kita mau melangkah dari pikiran tertutup ke pikiran terbuka. Membuka segala kemungkinan untuk kehidupan yang singkat dan fana ini.

Padang, 21 November 2019

Berdiri di Pintu Waktu

Malam ini kota Padang kembali dirundung hujan. Lumayan deras, dan membawa ingatan ke masa lalu. Masa saat pertama datang ke Kota ini. Masa mulai menjadi mahasiswa tahun pertama di IKIP Padang, jurusan Kimia. Masa masa nan panjang, bahkan menguras jiwa untuk menjalaninya. Tapi, itulah waktu, bisa membawa terbang ke masa lalu, jika pintu pintunya terbuka.

Hujan malam  ini, selalu mengingatkan kembali. Jalan jalan sepanjang perjalanan pulang, dari Pasar Raya Kota Padang menuju Air Tawar, turun di Maisithah, Gang Kakaktua. Pas, Kakaktua 35, itulah saksi jika hujan mendera tak kunjung padam. Tak  ada susah atau resah, diterima apa adanya, saat banjir melanda rumah, sebagai bagian dari kehidupan mahasiswa. Mungkin inilah jalan jalan yang tak terlupa, walau kini lebih 20 tahun telah berlalu.

Pintu Waktu, terbuka lagi, jika hujan melanda bumi. Semua kenangan masa lalu, berkelabat datang, mengingatkan apa yang pernah terjadi. Pintu waktu membuat kehidupan menjadi singkat, bahkan rentang 20 tahun serasa baru kemaren saja. Kita tak pernah tua, jika sering berada dan masuk ke pintu waktu. Di sinilah kita menyadari betapa singkatnya kehidupan ini dijalani, sehingga tak ada  alasan untuk lupa akan tujuan yang abadi. Pintu waktu memberi isyarat, bahwa apa yang dijalani ini hanyalah gelombang singkat dan akan segera hilang bersama waktu. Saat itulah kita tahu apa yang sebenar benarnya terpenting dalam kehidupan ini.

Prima Regency,Padang, 19 Nov 2019

Mereguk Secangkir Kopi

_

Ada sesal kalau mengingat tak banyak bisa menikmati hidup nan singkat ini. Menikmati dengan rasa syukur dan dengan hati yang tentram. Mereguk secangkir kopi di pagi hari. Menikmati hidangan sepotong roti dengan secangkir teh pagi. Mungkin pula hanya segelas air putih, dengan tanpa pendamping apa apa. Inilah kehidupan bermula, menjemput apa yang hendak dituju, lelah dan sepenuh jiwa, untuk tujuan yang hanya diri pemiliknya.

—-

Kopi berbeda, teh begitu pula. Dua duanya adalah sahabat, sekaligus saksi tentang ambisi, ilusi, prestasi, depresi, suksesi, imajinasi, dan semuanya, hingga kebiasaan buruk prokrastinasi (menunda nunda). Bahkan saat tulisan ini dibuat, hakekatnya juga kompensasi prokrastinasi atau rasionalisasi untuk mengalihkan focus yang semestinya dimulai pagi ini. Tapi namanya hidup, ada jiwa yang merasa, yang tak mau serta merta diperintah untuk langsung bekerja. Ada sisi lain yang harus dibagi, dalam bentuk hasrat dan renungan bagi waktu yang tersisa. Menikmati dengan sesaat, sebelum akhirnya tenggelam lagi dalam ambisi dunia yang tak kunjung padam.

—-

Kopi selalu punya cerita, tentang hitamnya dunia dan kelamnya malam-malam yang ada. Namun dalam kegelapan sekalipun, hasrat untuk tetap berbagi dan memberikan kebaikan tidak akan pernah tenggelam dan lenyap. Boleh jadi waktu tak pernah kembali, tetapi kehidupan tidak boleh berhenti. Kopi pagi akan selalu ada dan akan menemani perjalanan keabadian sampai saatnya tiba. Mereguk secangkir kopi kehidupan, lebih bermakna jika dirasakan bahwa setiap regukkan kepahitan akan berbuah manis, dalam setiap tujuan yang hendak dicapai. Kekuatan kopi itu ternyata tersimpan dalam kepahitan rasa dan kehidupan yang dititipkannya. Semakin pahit kopi yang dirasa, semakin nikmatlah khasiat yang akan diberikannya.

—-

Banda Buek, 20 Nov 2019

Jangan (Pernah) Lagi Ge-Er !

Kalau lagi berfoto bersama, selalulah kita mengukur dan menilai foto bersama itu bagus atau jelek, pada foto sendiri. Jika foto kita bagus, maka baguslah foto bersama itu. Jika foto itu jelek, maka jeleklah penilaian kita jatuhnya. Itu karena kita (termasuk saya), menilai sesuatu berdasarkan diri sendiri, dan seolah olah semuanya bermula dari diri sendiri. Padahal, kenyataannya, setiap diri memang selalu menilai dirinya dulu, melihat dirinya dulu, barulah menilai dan melihat orang lain. Bukankah begitu?

Lama juga saya berpikir, bahwa saya kerap diperhatikan orang, bahkan menjadi idola dan menjadi tatapan banyak orang. Istilahnya, Ke-Ge-Er-an alias GEDE RASA, apa apa merasa dilihat, apa apa merasa diperhatikan, apa apa seakan akan menjadi sorotan orang. Terlalu lama saya terperangkap, kalau kalau semua orang peduli dan menilai, serta menjadikan diri ini acuan bagi keberhasilan orang lain. Sampailah saya pada satu titik, di mana semuanya berubah dan tersadarkan. Bahwa sesungguhnya kita terjebak dengan perasaan GE-ER, merasa diperhatikan, merasa diamati. Padahal siapa sih yang mau peduli? Padahal siapa sih yang mau melihat dan mau tahu lebih banyak soal diri ini? Makanya jangan ke-GE-ER-an.

Jangan lagi pernah GE-ER ! Inilah nasehatnya, berkaca dari pengalaman. Bukankah setiap diri memang sibuk dengan urusan diri sendiri. Setiap orang akan sibuk memikirkan diri sendiri. Siapa saja yang ada dalam pentas kehidupan ini, akan terlebih dahulu memikirkan dirinya, melihat diri sendiri, seperti melihat foto kebersamaan tadi. Tak banyak yang berubah, dan tak akan banyak dampaknya bagi kehidupan, kalau kita terjebak dengan GE-ER ini terus dan bekepanjangan. Daripada tertipu dengan pikiran sendiri, jauh lebih baik kita berkarya dalam kehidupan yang fana ini. Berkarya tanpa peduli lagi dengan pikiran GE-ER yang selama ini menjebak. Berkarya dalam kehidupan ini dengan rasa syukur terdalam, bahwa dengan karya itu kita makin dekat kepada-Nya. Jangan (Pernah) lagi GE-ER!

Prima Regency, 26 November 2019

Mendengar Bisik-bisik Akar Kehidupan

—-

Entah bagaimana alam begitu banyak mengejek hidup ini. Kuat dan tak manja, itu pesan saat berjalan di Singapura, gambaran bunga yang tumbuh di sepanjang metropolisnya. Bayangkan, hanya berjatah 6 bulan, dipupuk dan disirami secara khusus, lewat itu minumlah dari air yang turun dari langit. Jika air tak cukup, atau akar tak mampu mencari air di dalam tanah, maka kandaslah bunga bunga sepanjang jalan kota Singapura. Begitulah persaingan dan kompetesi mendasar, bukan hanya manusia, tapi sampai ke hal hal yang tidak terduga. Bunga bunga kota, yang tak manja dan tegar menatap masa depan.

Kalau saja akar tak gesit, berhentilah kehidupan itu. Digantilah dengan bunga bunga yang lebih tegar dan kuat. Inilah sebuah hukum seleksi yang ketat, tak mudah namun menuntut keikhlasan sedalam akar yang tak henti berjuang. Ikhlasnya akar mendatangi setiap molekul air di sepenjuru tanah, tak kenal lelah. Ada gelap yang pengap, ada kekuatan menekan yang tak alang kepalang. Namun, keikhlasan akar tetaplah kuat. Bagi akar, tak ada cara lain, selain tetap berjuang. Tak ada pilihan lain, tanpa air, tak ada kehidupan. Inilah keikhlasan akar yang tak terbantahkan, kendati tak pernah dikenang dalam sejarah kehidupan.

—-

Menjadi akar kehidupan, juga pilihan yang tak mudah. Akar akarlah yang membuat perbedaan. Akar akarlah yang memberikan kesempatan kepada daun tetap bertumbuh dan hijau. Akar akarlah yang menyediakan putik dan tumbuh untuk menjadi buah yang menggoda. Akar akarlah yang memberikan kehidupan menjadi bermakna. Tapi, akar tidak akan pernah mengisi lembaran sejarah. Akar tidak akan pernah mendapatkan nama. Akar tetaplah akar selamanya, dalam kegelapan, panas dan dinginnya kehidupan bawah tanah. Akar akan tetap berjuang, kendati tak pernah satupun pernah terbersit untuk berganti menjadi buah. Akar mungkin juga tak pernah mengenal sorak sorai dunia. Tapi, akar akar kerap berbisik. Ketika hidup sudah mengakar, maka tak ada lagi yang hadir selain kebahagiaan yang luar biasa sepanjang masa.

—-

Workhsop Penulisan Bestpractice Persiapan OGN 2020 Bagi Guru SMK se-Propinsi Sumatera Barat

Pangeran City, 26-28 November 2019

Yang Belum (Pernah) Merdeka (?)

Guru Yang Belum (Pernah) Merdeka (?)

Rahadian Zainul, pernah jadi guru di SMU PGRI 3 Padang (1997-1998)

—-

Entah apa iya, Guru jadi nomor satu di negeri ini. Apa iya profesi guru menjadi idola. Apa benar pentas kita ada di sini, tempat mulia, tanpa tanda jasa. Apa benar guru menjadi tumpuan peradaban dan kemajuan suatu bangsa. Apa benar benar bangsa dan Negara ini berpihak kepada guru. Apakah kita semua menginginkan yang terbaik atau hanya sekedar basa basi. Apakah Guru memang selalu ada di hati, walau kita sebenarnya tak pernah menaruh hati terdalam? Apakah guru memang jadi penentu, atau hanya peran pembantu. Apa iya ini semua, ketika hari ini dating, hari guru, lalu kita merasa merdeka dan naik satu tingkatan.

—-

Yang pasti, Pengalaman kerap menampar!. Oooo…. Guru. Ooo….Calon Guru……… Bakalan jadi guru…. Atau apalagi ya, yang jelas kurang enak aja mendengar vocal O yang cukup panjang, kalau menyebut kaum pendidik. Padahal, kalau bukan karena Guru, nggak bakalan ada Jenderal. Kalau bukan karena guru nggak akan ada dokter, insinyur, dan profesi lainnya. Sayangnya, di negeri ini yang katanya menghargai kaum pendidik (Guru), masih kerap tersenyum tipis kalau bicara soal Guru dan calon Guru. Terlepas ada guru yang jadi idola, tetap saja siswa siswa pintar bahkan anak guru sekalipun enggan untuk menjadi Guru. Bandingkan profesi lainnya, tak jarang jika orang tuanya Dokter, anaknya juga pengin jadi Dokter, dan seterusnya….. Tapi, entah kenapa, kita sendiripun juga terperangkap (termasuk saya), untuk belum merdeka dari identitas lama, yang terlanjur jatuh penilaiannya.

—-

Merdeka, inilah kuncinya masa depan Guru kita. Kita tak akan bisa merubah bangsa dengan membelenggu stigma dan paradigm kita sendiri. Hanya dengan memutus rantai, kita bisa berdiri di depan. Guru guru ternama dan menorehkan sejarah, adalah guru yang bicara dengan cinta, terbuka, dan apa adanya. Kita bukan menjadi karena masa lalu. Kita bukan juga karena kita hanya di depan kelas. Kita akan membuat sejarah bagi masa depan, kita lah yang sebenarnya yang paling mulia dan menentukan masa depan. Kita, para guru guru yang mulia, jauh lebih tinggi derajatnya dari profesi apapun di negeri ini. Kalau bukan karena Guru, bangsa ini telah lama berlalu. Hanya dengan memerdekakan pikiran dan menempatkan Guru di tempat terttinggi, di atas apapun profesi, kita bisa menjadi bangsa besar. Belajarlah bagaimana Jepang menempatkan guru menjadi teratas di negeri itu, dihormati dan disegani. Wahai para guru, tegakkan dada, bicaralah dengan hati dan tunjukkan bahwa kita adalah yang termulia dan terbaik dalam eksistensi bangsa ini, bukan Dokter, bukan Jenderal, bukan insinyur, tetapi Guru lah yang terbaik dan penentu maju dan mundurnya bangsa ini. 

Prima Regency, 25 November 2019