Rasa dalam Berpikir, Berpikir dalam Rasa

Catatan Kontemplasi Intelektual yang tersisa

Entahlah, sudah lama hidup di kolong langit ini
Sudah banyak pula yang dipikirkan dan dirasakan
Sudah banyak goresan dan luka luka tertoreh
Yang pasti, sebaik apapun kita menurut versi diri
Pasti saja ada yang suka dan benci
Begitu pula sebaliknya, kehidupan selalu memberi warna sendiri

My Reflection, Dr Rahadian Zainul, S.Pd., M.Si.

Ada hijau, bagi kehidupan yang penuh artistik
Ada kuning, bagi yang suka nyentrik
Ada merah yang lebih mengedepankan egosentrik
Ada biru yang melakonistik
Ada pula coklat seperti lagak para penyidik

Entah apalah maksudnya
Tapi inilah hidup yang selalu ada dua sisi
Kemaren kita belajar, berpikir dan focus
Tapi satu sisi, manusia tak hanya pikiran semata
Ada sisi lain yang bernama rasa atau  sense
Sisi yang membuat leburnya eksistensi sekuat baja
Sisi yang bisa membuat kesederhanaan menjadi abadi
Sisi sisi yang membuat Berpikir dalam Rasa
Sisi yang membuat Rasa hadir dalam Berpikir

Sudah lama berjalan, banyak pula rasa yang ikut serta
Rasa senang di saat sejalan
Rasa marah jika berbeda
Rasa bangga jika diterima
Rasa kecewa jika sebaliknya
Rasa rasa yang membuat perbedaan

Antara masa depan dan sekedar hanya hadir
Hadir bagi peradaban ternyata tak hanya cukup “ada”
Hadir di masa depan haruslah dengan jiwa dan rasa
Inilah tantangan terberat dalam implementasi artifisial inteligen
Jangan sampai kepintaran menghilangkan rasa
Jangan sampai pemikiran menjadi kerdil sehingga tanpa rasa
Jangan sampai ambisi membuat kita kehilangan rasa

Rasa dalam berpikir
Berpikir dalam Rasa
Terima kasih Tuhan
Ini mungkin satu catatan perjalanan berikutnya

Solok, 15 Mei 2019

“Profesor Daur Ulang” VS “Profesor Kimia Fisika”

Catatan untuk Rumah Jiwa

Saya baru sadar kalau menjadi Profesor Kimia Fisika bukan tujuan lagi, setidaknya satu dua tahun ini. Lebih spesifik itu bukanlah bagian dari diri, itu sisi lain atau sebagian kecil dari Bagian diri yang bernama “pikiran”. Ada ruang ruang yang lebih indah dan membahagiakan, ketimbang sikap pongah akademik semata. Ada kehidupan yang tak mungkin saya pertukarkan dengan sederet gelar dan prestasi semu sementara. Setidaknya untuk saat ini, berhenti sejenak menikmati jalan mendaki

Ada Ruang ruang lain dari diri yang jauh lebih berarti? Ruang cinta dan makna kehidupan, yang berisi kedamaian dan ketentraman. Bukan soal rasa dan riak riak bathin yang semu sepi dan riuh rendah. Bukan pula soal gengsi dan seabrek caci maki di balik baju akademisi. Bahkan bukan juga soal suara suara yang menyeruak dari bathin dan jiwa terdalam. Semuanya hanya sisi sisi yang memintas diri dan membatasi harmoni kehidupan. Jikalau memilih jalan bisa ke belakang, profesor daur ulang jauh lebih berarti

Daur “ketidak-baikkan” menjadi “kebaikan” setiap saat, jauh lebih berharga. Daur “kebencian” menjadi “empati” setiap nafar, membahagiakan. Daur “marginalisasi” menjadi “unlimited” dalam karya, membesarkan. Daur  “kemunafikan” menjadi “keikhlasan” dalam bersikap, melapangkan. Daur “penindasan” menjadi “kemerdekaan” dalam bekerja, menguatkan. Daur “pengekangan” menjadi “pembebasan” dalam berpendapat, mengilhamkan. Daur “persengkonkolan” menjadi “ketulusan” dalam berkelompok, amat menyejukan

Daurlah kebusukan
Daurlah kedengkian
Daurlah ketamakan
Daurlah keserakahan
Daurlah kesombongan

Ulangilah kehidupan ini dengan rasa syukur yang menggetarkan bathin dan ruang jiwa terdalam
Ulangilah kehidupan ini dengan ikhlas, bahagia, cinta dan kedamaian
Ulangilah bernafas dengan nikmat yang tak bisa terungkapkan
Ulangilah apapun demi menikmati apa yang ada tanpa membanding bandingkan

Sungguh, jika semua kebusukan bertebaran di mana mana. Bahkan di lorong lorong kaum akademisi sekalipun. Bahkan di tengah singasana singasana para raja raja. Tak ada lagi yang bisa berharap, selain menjadikan kebaikkan sebagai tujuan akhir kita.

Menjadi profesor yang bisa mendaur ulang semua kebusukan dan keserakahan.
Menjadi Profesor yang bisa membahagiakan orang orang termarginalkan
Menjadi Profesor yang bisa menginspirasi bagi kaum kaum yang tertindas
Menjadi Profesor buat ruang jiwa dan penghuni surga
Menjadi Profesor buat cahaya dan kesunyian
Menjadikan kebisingan lenyap berganti kesenyapan yang merona
Jauh lebih berarti dari sekedar hanya menjadi Profesor Kimia Fisika

Kontemplasi Diri di Ujung Senja, Padang, 10 Januari 2019

Rumah Kebaikan, Tetaplah Menabur Kebaikan Selamanya

Rumah Kebaikan, tetaplah menabur kebaikan selamanya
Catatan Kontemplasi Jiwa

Mungkin ada pendosa yang datang
Mungkin ada juga penjudi yang mampir
Mungkin ulama dan pakih
Entah artis dan tokoh politik

Rumah tetaplah rumah
Tempat siapa saja boleh datang dan singgah
Rumah kebaikan selalu saja siap
Kendati sampah dan kotoran yang diterima

Biarkanlah semua berjalan seperti air mengalir
Biarkanlah semua pergi meninggalkan dan sepi kembali hadir
Biarkanlah semua menantang dating dan bersorak gemuruh

Kebaikan tak mengenal waktu dan dimensi
Kebaikan sejati itu hanya milik hati yang murni
Hati yang terjaga untuk kebaikan dan kebaikan itu sendiri

Catatan di simpang jalan pulang, 18 September 2019

Waktu yang Buta dan Membutakan

Waktu yang Buta dan Membutakan
Catatan di Ujung Asa

Enyahlah Kau sang Pembunuh
Yang pernah membunuh harapan dan masa depan ini
Enyahlah Kau sang Penghukum
Yang pernah menghukum masa lalu ini sampai tak berdaya
Catatlah baik baik, kegelapan itu telah tergantikan
Sebesar apapun Kau sembunyikan, getaran waktu telah terkuak

Aku kini bukan yang dulu lagi
Aku kini sudah memutuskan menyingkap siapa Kau seungguhnya

Tak akan sia sia lagi waktu yang ada
Tak akan sia sia lagi nafas  tersisa
Enyahlah Kau selamanya…….
Aku sudah punya Dia
Kendati harius berjalan di atas bara
Apa yang dicari dalam hidup selain doa
Apa yang didamba selain harapan
Apa yang dikejar pun tak tahu lagi

Mengejar bayang bayang
Mengukir langit terbentang
Sampai ajal pun menjelang
Setuju atau tidak, aku mengejar waktu demi waktu
Setuju atau tidak, aku menikmati perjalanan memburunya
Selagi ada galah galah, lompatan akan tetap terjadi
Selagi masih ada asa asa, pandangan ke depan terbentang tajam
Koarlah sekeras kerasnya, sampai batas tak terdengar lagi

Berlarilah sekencang kencangnya, sampai semuanya menyatu dengan hasrat
Menyelamlah sedalam dalamnya selagi masih bisa dan waktu tersisa
Tak akan ada kesempatan kedua, dalam apapun yang dilalui
Terima kasih Tuhan, tak akan adalagi keluh kesah di atas jalan ini
Jalan di atas Bara, sekalipun panas dan mengelupas
Jalan di atas Asa, sekalipun menyiksa dan terpaksa
Akan tetap kutempuh bersama waktu dan masa depan

Karena jalan ini adalah jalan terakhir sebelum kembali
Karena kehidupan ini hanya sekali, dan cukup ini saja
Betapun waktu kau pernah menerkamku di waktu dulu
Kini tak akan kuganti tangkap ini dengan Lepas

Pekanbaru, 3 Agustus 2019

Berhenti Berjalan Ke luar Diri

Berhenti Berjalan Ke luar Diri
Catatan Intelektual yang tersisa

Banyak hal yang saya kagumi dari Prof Agus Irianto. Satu di antaranya, soal visi dan misi. Keseimbangan dan harmoni. Kebaikan yang terukur dan terpada padai. Berbuat baik berpada padai. Berbuat jahat sekali tidak. Karena kebaikan tidak selalu ditafsirkan baik

Setidaknya kalau bertemu Prof Statistik ini, saya punya kesan istimewa. Beda Statistik, beda pula Kimia Fisik. Statistik belajar ‘memimpikan’ sesuatu. Kimia Fisik belajar untuk “mencintai” sesuatu. Keduanya sama sama membuat belajar atas pengalaman.

Setidaknya, pengalaman banyak bercerita. Salah satunya soal mimpi mimpi kehidupan. Soal mimpi dan hasrat, kerap menarik hati. Mimpi kepingin punya mahasiswa kelas dunia. Mimpi kepingin berbagi dengan mutu dan standar tinggi.

Realitanya mimpi membuat berjalan terus ke luar. Realitanya hanya ekspektasi yang makin membesar. Maunya, kalau memberi kuliah, serasa bersama dengan mahasiswa terbaik dunia. Maunya, saat memberikan pencerahan, serasa bahagia membuka cakrawala dunia. Tapi Sayang, semua yang dijumpa tak serasa dan sejiwa. Tapi Sayang, mahasiswa yang dicerahi tak lebih sekedar pencari arti dan gengsi

Mata bertemu mata. Visi beradu visi. Nyali tak selalu pergi. Rupanya saya berada di kampus tercinta. Rupanya berada di tanah yang biasa. Rupanya berkelana tak jauh dari halaman rumah kita. Halaman rumah dengan bunga bunga yang manja .

Yang segera layu bila tak tersentuh gerimis hujan. Yang segera mati bila tak ada secercah matahari pagi. Yang hanya tersenyum saat dipuji. Yang membusuk bila dimaki dan terbebani. Bunga bunga yang tak ikhlas dan manja. Bunga bunga yang puas dengan kumbang kelapa. Yang tak tahu beda mutu dan gengsi.

Berhentilah berjalan ke luar diri, ini mungkin hikmahnya. Berhentilah bermimpi dengan mereka yang tak kuat dihantam badai. Berhentilah dengan generasi milenial yang penuh khayal. Berhentilah berharap sejuta cita cita dan masa depan. Karena pemimpi tetaplah lari. Karena pengikut tidaklah mau memikul cita cita. Lebih dari mata jangka dan anak panah.

Saya baru tersadar, kalau halaman rumah ini adalah masa lalu. Generasi ini adalah cerita lalu. Mereka hanya dongeng yang entah berantah. Mereka lugu dan bermimpi untuk lahir di sini. Mereka hanya bising dan mengisi sisa dimensi yang berkarat. Mereka hanya pelengkap bagi energi masa depan

Tapi mereka tetap berguna. Setidaknya, mereka berjasa untuk kesempurnaan masa depan. Tanpa kekurangan, tak akan ada kelebihan. Mereka amat berjasa untuk kesempurnaan yang lain.

Berhentilah berjalan ke luar diri. Berjalanlah ke dalam dan jauh tanpa batas. Berjalanlah dalam harapan yang sesungguhnya. Dalam diam dan sepi sekalipun. Tak perlu ada sinergi lagi, tertukar tangkap dengan lepas. Untuk apa mengguratkan sisi yang pasti akan hilang, percuma!. Untuk apa mengukir cita cita dalam cita cita yang telah terlampaui. Cukup, mimpi mereka hanya sepanjang ujung jari.

Terima kasih Tuhan, sejarah tetap akan berjalan. Biarlah halaman ini tetap ada, sebagai bahan pelengkap masa depan. Biarlah halaman ini tetap berumput, agar lebih nyaman dilewati. Bunga dan cemara, tak layak untuk ditumbuhkan di tanah ini. Karena tanahnya tak memiliki cinta yang kuat. Biarkanlah hanya alang alang menjadi penghias bahwa. Di sini pernah ada kehidupan, dan penanda perjalanan….

Payakumbuh, 9 February 2018

Pelatihan dan Pengembangan CLS dan Karya Ilmiah oleh Tim Jurusan Kimia LP2M Universitas Negeri Padang

Kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Content Learning System (CLS) dilaksanakan bagi para Guru dan Akademisi di Sumatera Barat dan Nasional. Kegiatan ini memberikan pembekalan kepada insan akademik yang tertarik pada pembelajaran Blended Learning dan Online yang sangat relevan dengan kondisi Pandemik Covid 19 saat ini. Kegiatan ini dilaksanakan selama 6 tahapan, dimulai pada Tanggal 25 September 2020 dan berakhir pada tanggal 15 Oktober 2020.

Belajar Santuy bersama Cinta

—–

Entah mungkin besar dan tumbuh di kaki Gunung Kerinci, energy itu kerap menendang. Entah mungkin karena lama besar di lingkungan yang terbatas Oksigen, belajar menjadi cepat, maka proses menjadi takaran tersendiri. Dibesarkan dengan Abak Amak dengan ala cepat dan sigap, makan cepat, mandi sigap, berjalan pun juga cepat, lahirlah kehidupan yang kerap membuat tuntutan menjadi terukur dengan kecepatan. Padahal, tak selamanya kecepatan menjadi ukuran dalam kehidupan yang fana ini, bukan?

—-

Bertumbuh kepingin cepat, berprestasi pun juga dituntut seperti ini. Kadangkala, hidup di negeri timur, Indonesia, apalagi di Sumatera Barat. Kecepatan kerap juga bikin kawan kawan gerah dan apriori, bahkan tidak menyenangi. Jadilah kita kerap berjalan sendiri, dan ujung ujungnya pun bekerja sendiri. Apalah jadinya jika ini terus berlangsung lama, berganti usia, dan semuanya berjalan hanya dengan kecepatan. Memang tak salah, tapi tak selalu demikian adanya.

—-

Belajar bersama Cinta tentang kesantunan, adalah kuncinya. Kunci untuk Santuy dan beretika, tanpa menuntut perubahan seketika, menjadikan kehidupan lebih bermakna dan bahagia. Biarlah semuanya berjalan dengan waktunya, dan hargailah perbedaan ini agar kedamaiaan selalu hadir sepanjang masa. Mala mini, kami bersama, belajar tentang Santuy dan Etika bersama Istri dan keluarga besar, Anak anak dan keluarga tercinta.

Transmart Padang, 23 November 2019

Kenapa Harus Takut

Menulis kisah ketakutan dan keberanian, memang tak kunjung usai. Masa kecil kerap jadi patokan, bagaimana kehidupan itu bertutur. Setidaknya pengalaman banyak bicara dengan realita, bicara apa adanya, bicara fakta, dan pembuktiaan atas sikap dan pilihan. Bahkan, apa yang kita terima hari ini, adalah konsekuensi dari pilihan masa lalu.

Berguru dari masa lalu, keputusan yang tak lazim memang menjadi hal unik untuk dijalani. Hari hari yang dipilih, terpilih dan memilih tak akan bisa dilupakan. Ada hal hal yang membuat tersenyum, menangis, tertawa dan bahagia yang tak dapat diungkapkan dengan kata kata. Sebutlah jalan jalan apa namanya, rasanya sudah bukan hal menakutkan lagi. Karena semua ketakutan ini menjadi titik balik perjalanan akhir kehidupan. “Hidup Sekali, Mati Sekali, dan Bukan Berkali Kali”, inilah hikmah jalan jalan yang hamper hamper menepi. Mungkin terbaik adalah bersyukur demi rasa itu sendiri atas kesempatan yang masih ada dan bonus kehidupan tak ternilai harganya.

Ketakutan itu berwujud abstrak sekaligus nyata. Adanya takut karena rasa memiliki yang tinggi, dan mencintai berlebih. Padahal kehilangan itu sebenarnya juga abstrak dan ilusi, karena hakekatnya tidak ada yang memiliki dan benar benar memiliki secara maknawi. Bukankah apa yang ada di langit dan di bumi hanyalah hak pakai dan akan lepas serta tertinggal, dittinggal atau meninggalkan kehidupan ini. Karenanya apalagi yang ditakutkan dari Kehidupan ini? Takut dan Berani, bedanya hanyalah bilamana kita mau melangkah dari pikiran tertutup ke pikiran terbuka. Membuka segala kemungkinan untuk kehidupan yang singkat dan fana ini.

Padang, 21 November 2019

Berdiri di Pintu Waktu

Malam ini kota Padang kembali dirundung hujan. Lumayan deras, dan membawa ingatan ke masa lalu. Masa saat pertama datang ke Kota ini. Masa mulai menjadi mahasiswa tahun pertama di IKIP Padang, jurusan Kimia. Masa masa nan panjang, bahkan menguras jiwa untuk menjalaninya. Tapi, itulah waktu, bisa membawa terbang ke masa lalu, jika pintu pintunya terbuka.

Hujan malam  ini, selalu mengingatkan kembali. Jalan jalan sepanjang perjalanan pulang, dari Pasar Raya Kota Padang menuju Air Tawar, turun di Maisithah, Gang Kakaktua. Pas, Kakaktua 35, itulah saksi jika hujan mendera tak kunjung padam. Tak  ada susah atau resah, diterima apa adanya, saat banjir melanda rumah, sebagai bagian dari kehidupan mahasiswa. Mungkin inilah jalan jalan yang tak terlupa, walau kini lebih 20 tahun telah berlalu.

Pintu Waktu, terbuka lagi, jika hujan melanda bumi. Semua kenangan masa lalu, berkelabat datang, mengingatkan apa yang pernah terjadi. Pintu waktu membuat kehidupan menjadi singkat, bahkan rentang 20 tahun serasa baru kemaren saja. Kita tak pernah tua, jika sering berada dan masuk ke pintu waktu. Di sinilah kita menyadari betapa singkatnya kehidupan ini dijalani, sehingga tak ada  alasan untuk lupa akan tujuan yang abadi. Pintu waktu memberi isyarat, bahwa apa yang dijalani ini hanyalah gelombang singkat dan akan segera hilang bersama waktu. Saat itulah kita tahu apa yang sebenar benarnya terpenting dalam kehidupan ini.

Prima Regency,Padang, 19 Nov 2019

Mereguk Secangkir Kopi

_

Ada sesal kalau mengingat tak banyak bisa menikmati hidup nan singkat ini. Menikmati dengan rasa syukur dan dengan hati yang tentram. Mereguk secangkir kopi di pagi hari. Menikmati hidangan sepotong roti dengan secangkir teh pagi. Mungkin pula hanya segelas air putih, dengan tanpa pendamping apa apa. Inilah kehidupan bermula, menjemput apa yang hendak dituju, lelah dan sepenuh jiwa, untuk tujuan yang hanya diri pemiliknya.

—-

Kopi berbeda, teh begitu pula. Dua duanya adalah sahabat, sekaligus saksi tentang ambisi, ilusi, prestasi, depresi, suksesi, imajinasi, dan semuanya, hingga kebiasaan buruk prokrastinasi (menunda nunda). Bahkan saat tulisan ini dibuat, hakekatnya juga kompensasi prokrastinasi atau rasionalisasi untuk mengalihkan focus yang semestinya dimulai pagi ini. Tapi namanya hidup, ada jiwa yang merasa, yang tak mau serta merta diperintah untuk langsung bekerja. Ada sisi lain yang harus dibagi, dalam bentuk hasrat dan renungan bagi waktu yang tersisa. Menikmati dengan sesaat, sebelum akhirnya tenggelam lagi dalam ambisi dunia yang tak kunjung padam.

—-

Kopi selalu punya cerita, tentang hitamnya dunia dan kelamnya malam-malam yang ada. Namun dalam kegelapan sekalipun, hasrat untuk tetap berbagi dan memberikan kebaikan tidak akan pernah tenggelam dan lenyap. Boleh jadi waktu tak pernah kembali, tetapi kehidupan tidak boleh berhenti. Kopi pagi akan selalu ada dan akan menemani perjalanan keabadian sampai saatnya tiba. Mereguk secangkir kopi kehidupan, lebih bermakna jika dirasakan bahwa setiap regukkan kepahitan akan berbuah manis, dalam setiap tujuan yang hendak dicapai. Kekuatan kopi itu ternyata tersimpan dalam kepahitan rasa dan kehidupan yang dititipkannya. Semakin pahit kopi yang dirasa, semakin nikmatlah khasiat yang akan diberikannya.

—-

Banda Buek, 20 Nov 2019