“Profesor Daur Ulang” VS “Profesor Kimia Fisika”

Catatan untuk Rumah Jiwa

Saya baru sadar kalau menjadi Profesor Kimia Fisika bukan tujuan lagi, setidaknya satu dua tahun ini. Lebih spesifik itu bukanlah bagian dari diri, itu sisi lain atau sebagian kecil dari Bagian diri yang bernama “pikiran”. Ada ruang ruang yang lebih indah dan membahagiakan, ketimbang sikap pongah akademik semata. Ada kehidupan yang tak mungkin saya pertukarkan dengan sederet gelar dan prestasi semu sementara. Setidaknya untuk saat ini, berhenti sejenak menikmati jalan mendaki

Ada Ruang ruang lain dari diri yang jauh lebih berarti? Ruang cinta dan makna kehidupan, yang berisi kedamaian dan ketentraman. Bukan soal rasa dan riak riak bathin yang semu sepi dan riuh rendah. Bukan pula soal gengsi dan seabrek caci maki di balik baju akademisi. Bahkan bukan juga soal suara suara yang menyeruak dari bathin dan jiwa terdalam. Semuanya hanya sisi sisi yang memintas diri dan membatasi harmoni kehidupan. Jikalau memilih jalan bisa ke belakang, profesor daur ulang jauh lebih berarti

Daur “ketidak-baikkan” menjadi “kebaikan” setiap saat, jauh lebih berharga. Daur “kebencian” menjadi “empati” setiap nafar, membahagiakan. Daur “marginalisasi” menjadi “unlimited” dalam karya, membesarkan. Daur  “kemunafikan” menjadi “keikhlasan” dalam bersikap, melapangkan. Daur “penindasan” menjadi “kemerdekaan” dalam bekerja, menguatkan. Daur “pengekangan” menjadi “pembebasan” dalam berpendapat, mengilhamkan. Daur “persengkonkolan” menjadi “ketulusan” dalam berkelompok, amat menyejukan

Daurlah kebusukan
Daurlah kedengkian
Daurlah ketamakan
Daurlah keserakahan
Daurlah kesombongan

Ulangilah kehidupan ini dengan rasa syukur yang menggetarkan bathin dan ruang jiwa terdalam
Ulangilah kehidupan ini dengan ikhlas, bahagia, cinta dan kedamaian
Ulangilah bernafas dengan nikmat yang tak bisa terungkapkan
Ulangilah apapun demi menikmati apa yang ada tanpa membanding bandingkan

Sungguh, jika semua kebusukan bertebaran di mana mana. Bahkan di lorong lorong kaum akademisi sekalipun. Bahkan di tengah singasana singasana para raja raja. Tak ada lagi yang bisa berharap, selain menjadikan kebaikkan sebagai tujuan akhir kita.

Menjadi profesor yang bisa mendaur ulang semua kebusukan dan keserakahan.
Menjadi Profesor yang bisa membahagiakan orang orang termarginalkan
Menjadi Profesor yang bisa menginspirasi bagi kaum kaum yang tertindas
Menjadi Profesor buat ruang jiwa dan penghuni surga
Menjadi Profesor buat cahaya dan kesunyian
Menjadikan kebisingan lenyap berganti kesenyapan yang merona
Jauh lebih berarti dari sekedar hanya menjadi Profesor Kimia Fisika

Kontemplasi Diri di Ujung Senja, Padang, 10 Januari 2019

Rumah Kebaikan, Tetaplah Menabur Kebaikan Selamanya

Rumah Kebaikan, tetaplah menabur kebaikan selamanya
Catatan Kontemplasi Jiwa

Mungkin ada pendosa yang datang
Mungkin ada juga penjudi yang mampir
Mungkin ulama dan pakih
Entah artis dan tokoh politik

Rumah tetaplah rumah
Tempat siapa saja boleh datang dan singgah
Rumah kebaikan selalu saja siap
Kendati sampah dan kotoran yang diterima

Biarkanlah semua berjalan seperti air mengalir
Biarkanlah semua pergi meninggalkan dan sepi kembali hadir
Biarkanlah semua menantang dating dan bersorak gemuruh

Kebaikan tak mengenal waktu dan dimensi
Kebaikan sejati itu hanya milik hati yang murni
Hati yang terjaga untuk kebaikan dan kebaikan itu sendiri

Catatan di simpang jalan pulang, 18 September 2019

Berhenti Berjalan Ke luar Diri

Berhenti Berjalan Ke luar Diri
Catatan Intelektual yang tersisa

Banyak hal yang saya kagumi dari Prof Agus Irianto. Satu di antaranya, soal visi dan misi. Keseimbangan dan harmoni. Kebaikan yang terukur dan terpada padai. Berbuat baik berpada padai. Berbuat jahat sekali tidak. Karena kebaikan tidak selalu ditafsirkan baik

Setidaknya kalau bertemu Prof Statistik ini, saya punya kesan istimewa. Beda Statistik, beda pula Kimia Fisik. Statistik belajar ‘memimpikan’ sesuatu. Kimia Fisik belajar untuk “mencintai” sesuatu. Keduanya sama sama membuat belajar atas pengalaman.

Setidaknya, pengalaman banyak bercerita. Salah satunya soal mimpi mimpi kehidupan. Soal mimpi dan hasrat, kerap menarik hati. Mimpi kepingin punya mahasiswa kelas dunia. Mimpi kepingin berbagi dengan mutu dan standar tinggi.

Realitanya mimpi membuat berjalan terus ke luar. Realitanya hanya ekspektasi yang makin membesar. Maunya, kalau memberi kuliah, serasa bersama dengan mahasiswa terbaik dunia. Maunya, saat memberikan pencerahan, serasa bahagia membuka cakrawala dunia. Tapi Sayang, semua yang dijumpa tak serasa dan sejiwa. Tapi Sayang, mahasiswa yang dicerahi tak lebih sekedar pencari arti dan gengsi

Mata bertemu mata. Visi beradu visi. Nyali tak selalu pergi. Rupanya saya berada di kampus tercinta. Rupanya berada di tanah yang biasa. Rupanya berkelana tak jauh dari halaman rumah kita. Halaman rumah dengan bunga bunga yang manja .

Yang segera layu bila tak tersentuh gerimis hujan. Yang segera mati bila tak ada secercah matahari pagi. Yang hanya tersenyum saat dipuji. Yang membusuk bila dimaki dan terbebani. Bunga bunga yang tak ikhlas dan manja. Bunga bunga yang puas dengan kumbang kelapa. Yang tak tahu beda mutu dan gengsi.

Berhentilah berjalan ke luar diri, ini mungkin hikmahnya. Berhentilah bermimpi dengan mereka yang tak kuat dihantam badai. Berhentilah dengan generasi milenial yang penuh khayal. Berhentilah berharap sejuta cita cita dan masa depan. Karena pemimpi tetaplah lari. Karena pengikut tidaklah mau memikul cita cita. Lebih dari mata jangka dan anak panah.

Saya baru tersadar, kalau halaman rumah ini adalah masa lalu. Generasi ini adalah cerita lalu. Mereka hanya dongeng yang entah berantah. Mereka lugu dan bermimpi untuk lahir di sini. Mereka hanya bising dan mengisi sisa dimensi yang berkarat. Mereka hanya pelengkap bagi energi masa depan

Tapi mereka tetap berguna. Setidaknya, mereka berjasa untuk kesempurnaan masa depan. Tanpa kekurangan, tak akan ada kelebihan. Mereka amat berjasa untuk kesempurnaan yang lain.

Berhentilah berjalan ke luar diri. Berjalanlah ke dalam dan jauh tanpa batas. Berjalanlah dalam harapan yang sesungguhnya. Dalam diam dan sepi sekalipun. Tak perlu ada sinergi lagi, tertukar tangkap dengan lepas. Untuk apa mengguratkan sisi yang pasti akan hilang, percuma!. Untuk apa mengukir cita cita dalam cita cita yang telah terlampaui. Cukup, mimpi mereka hanya sepanjang ujung jari.

Terima kasih Tuhan, sejarah tetap akan berjalan. Biarlah halaman ini tetap ada, sebagai bahan pelengkap masa depan. Biarlah halaman ini tetap berumput, agar lebih nyaman dilewati. Bunga dan cemara, tak layak untuk ditumbuhkan di tanah ini. Karena tanahnya tak memiliki cinta yang kuat. Biarkanlah hanya alang alang menjadi penghias bahwa. Di sini pernah ada kehidupan, dan penanda perjalanan….

Payakumbuh, 9 February 2018