Jangan (Pernah) Lagi Ge-Er !

Kalau lagi berfoto bersama, selalulah kita mengukur dan menilai foto bersama itu bagus atau jelek, pada foto sendiri. Jika foto kita bagus, maka baguslah foto bersama itu. Jika foto itu jelek, maka jeleklah penilaian kita jatuhnya. Itu karena kita (termasuk saya), menilai sesuatu berdasarkan diri sendiri, dan seolah olah semuanya bermula dari diri sendiri. Padahal, kenyataannya, setiap diri memang selalu menilai dirinya dulu, melihat dirinya dulu, barulah menilai dan melihat orang lain. Bukankah begitu?

Lama juga saya berpikir, bahwa saya kerap diperhatikan orang, bahkan menjadi idola dan menjadi tatapan banyak orang. Istilahnya, Ke-Ge-Er-an alias GEDE RASA, apa apa merasa dilihat, apa apa merasa diperhatikan, apa apa seakan akan menjadi sorotan orang. Terlalu lama saya terperangkap, kalau kalau semua orang peduli dan menilai, serta menjadikan diri ini acuan bagi keberhasilan orang lain. Sampailah saya pada satu titik, di mana semuanya berubah dan tersadarkan. Bahwa sesungguhnya kita terjebak dengan perasaan GE-ER, merasa diperhatikan, merasa diamati. Padahal siapa sih yang mau peduli? Padahal siapa sih yang mau melihat dan mau tahu lebih banyak soal diri ini? Makanya jangan ke-GE-ER-an.

Jangan lagi pernah GE-ER ! Inilah nasehatnya, berkaca dari pengalaman. Bukankah setiap diri memang sibuk dengan urusan diri sendiri. Setiap orang akan sibuk memikirkan diri sendiri. Siapa saja yang ada dalam pentas kehidupan ini, akan terlebih dahulu memikirkan dirinya, melihat diri sendiri, seperti melihat foto kebersamaan tadi. Tak banyak yang berubah, dan tak akan banyak dampaknya bagi kehidupan, kalau kita terjebak dengan GE-ER ini terus dan bekepanjangan. Daripada tertipu dengan pikiran sendiri, jauh lebih baik kita berkarya dalam kehidupan yang fana ini. Berkarya tanpa peduli lagi dengan pikiran GE-ER yang selama ini menjebak. Berkarya dalam kehidupan ini dengan rasa syukur terdalam, bahwa dengan karya itu kita makin dekat kepada-Nya. Jangan (Pernah) lagi GE-ER!

Prima Regency, 26 November 2019

Mendengar Bisik-bisik Akar Kehidupan

—-

Entah bagaimana alam begitu banyak mengejek hidup ini. Kuat dan tak manja, itu pesan saat berjalan di Singapura, gambaran bunga yang tumbuh di sepanjang metropolisnya. Bayangkan, hanya berjatah 6 bulan, dipupuk dan disirami secara khusus, lewat itu minumlah dari air yang turun dari langit. Jika air tak cukup, atau akar tak mampu mencari air di dalam tanah, maka kandaslah bunga bunga sepanjang jalan kota Singapura. Begitulah persaingan dan kompetesi mendasar, bukan hanya manusia, tapi sampai ke hal hal yang tidak terduga. Bunga bunga kota, yang tak manja dan tegar menatap masa depan.

Kalau saja akar tak gesit, berhentilah kehidupan itu. Digantilah dengan bunga bunga yang lebih tegar dan kuat. Inilah sebuah hukum seleksi yang ketat, tak mudah namun menuntut keikhlasan sedalam akar yang tak henti berjuang. Ikhlasnya akar mendatangi setiap molekul air di sepenjuru tanah, tak kenal lelah. Ada gelap yang pengap, ada kekuatan menekan yang tak alang kepalang. Namun, keikhlasan akar tetaplah kuat. Bagi akar, tak ada cara lain, selain tetap berjuang. Tak ada pilihan lain, tanpa air, tak ada kehidupan. Inilah keikhlasan akar yang tak terbantahkan, kendati tak pernah dikenang dalam sejarah kehidupan.

—-

Menjadi akar kehidupan, juga pilihan yang tak mudah. Akar akarlah yang membuat perbedaan. Akar akarlah yang memberikan kesempatan kepada daun tetap bertumbuh dan hijau. Akar akarlah yang menyediakan putik dan tumbuh untuk menjadi buah yang menggoda. Akar akarlah yang memberikan kehidupan menjadi bermakna. Tapi, akar tidak akan pernah mengisi lembaran sejarah. Akar tidak akan pernah mendapatkan nama. Akar tetaplah akar selamanya, dalam kegelapan, panas dan dinginnya kehidupan bawah tanah. Akar akan tetap berjuang, kendati tak pernah satupun pernah terbersit untuk berganti menjadi buah. Akar mungkin juga tak pernah mengenal sorak sorai dunia. Tapi, akar akar kerap berbisik. Ketika hidup sudah mengakar, maka tak ada lagi yang hadir selain kebahagiaan yang luar biasa sepanjang masa.

—-

Workhsop Penulisan Bestpractice Persiapan OGN 2020 Bagi Guru SMK se-Propinsi Sumatera Barat

Pangeran City, 26-28 November 2019

Yang Belum (Pernah) Merdeka (?)

Guru Yang Belum (Pernah) Merdeka (?)

Rahadian Zainul, pernah jadi guru di SMU PGRI 3 Padang (1997-1998)

—-

Entah apa iya, Guru jadi nomor satu di negeri ini. Apa iya profesi guru menjadi idola. Apa benar pentas kita ada di sini, tempat mulia, tanpa tanda jasa. Apa benar guru menjadi tumpuan peradaban dan kemajuan suatu bangsa. Apa benar benar bangsa dan Negara ini berpihak kepada guru. Apakah kita semua menginginkan yang terbaik atau hanya sekedar basa basi. Apakah Guru memang selalu ada di hati, walau kita sebenarnya tak pernah menaruh hati terdalam? Apakah guru memang jadi penentu, atau hanya peran pembantu. Apa iya ini semua, ketika hari ini dating, hari guru, lalu kita merasa merdeka dan naik satu tingkatan.

—-

Yang pasti, Pengalaman kerap menampar!. Oooo…. Guru. Ooo….Calon Guru……… Bakalan jadi guru…. Atau apalagi ya, yang jelas kurang enak aja mendengar vocal O yang cukup panjang, kalau menyebut kaum pendidik. Padahal, kalau bukan karena Guru, nggak bakalan ada Jenderal. Kalau bukan karena guru nggak akan ada dokter, insinyur, dan profesi lainnya. Sayangnya, di negeri ini yang katanya menghargai kaum pendidik (Guru), masih kerap tersenyum tipis kalau bicara soal Guru dan calon Guru. Terlepas ada guru yang jadi idola, tetap saja siswa siswa pintar bahkan anak guru sekalipun enggan untuk menjadi Guru. Bandingkan profesi lainnya, tak jarang jika orang tuanya Dokter, anaknya juga pengin jadi Dokter, dan seterusnya….. Tapi, entah kenapa, kita sendiripun juga terperangkap (termasuk saya), untuk belum merdeka dari identitas lama, yang terlanjur jatuh penilaiannya.

—-

Merdeka, inilah kuncinya masa depan Guru kita. Kita tak akan bisa merubah bangsa dengan membelenggu stigma dan paradigm kita sendiri. Hanya dengan memutus rantai, kita bisa berdiri di depan. Guru guru ternama dan menorehkan sejarah, adalah guru yang bicara dengan cinta, terbuka, dan apa adanya. Kita bukan menjadi karena masa lalu. Kita bukan juga karena kita hanya di depan kelas. Kita akan membuat sejarah bagi masa depan, kita lah yang sebenarnya yang paling mulia dan menentukan masa depan. Kita, para guru guru yang mulia, jauh lebih tinggi derajatnya dari profesi apapun di negeri ini. Kalau bukan karena Guru, bangsa ini telah lama berlalu. Hanya dengan memerdekakan pikiran dan menempatkan Guru di tempat terttinggi, di atas apapun profesi, kita bisa menjadi bangsa besar. Belajarlah bagaimana Jepang menempatkan guru menjadi teratas di negeri itu, dihormati dan disegani. Wahai para guru, tegakkan dada, bicaralah dengan hati dan tunjukkan bahwa kita adalah yang termulia dan terbaik dalam eksistensi bangsa ini, bukan Dokter, bukan Jenderal, bukan insinyur, tetapi Guru lah yang terbaik dan penentu maju dan mundurnya bangsa ini. 

Prima Regency, 25 November 2019

31 Desember Empat Tahun Lalu

Dr Rahadian Zainul, S.Pd., M.Si.

31 Desember  Empat Tahun Lalu

Jalan itu, Desember 4 (empat) tahun lalu, 2014. Saya masih teringat jelas, kalau itu hari paling sulit untuk menegakkan kepala. Bukan karena sakit atau penat, tapi karena itu pilihan dari perbedaan jalan.

Saya mengenang, di saat itulah, kesadaran mencuat, jika kehidupan memiliki irama yang unik dan menarik. Irama tak seperti yang kita mau, dan menarik tak seperti yang kita duga. Hidup berjalan dan berlalu, terhempas dan terlepas, mencari makna dalam makna, memastikan ketidakpastian waktu yang menjauh.

Untuk para penyendiri, para penemu dan para pejalan di tengah perbedaan, saya ingat itulah momentum untuk menjadi yang lebih baik. Mungkin kalau bukan Desember, tak akan ada Januari datang menemani. Siapa sangka, Desember 4 tahun lalu adalah titik balik dari rekonstruksi masa depan yang kini dijejali.

Untuk Pembimbing yang mendahului, tak akan pernah tergantikan apa yang telah engkau berikan. Yang tiada pernah terlupakan dalam sejarah kehidupan, (Alm) Prof Dr Admin Alif, DEA, (Alm) Prof Dr Edison Munaf, M.Eng., dan semoga kekuatan dan keberkahan selalu melimpah kepada beliau yang mengangkatkan kepala ini kembali untuk menatap ke depan. Berlimpah rahmat dan karunia, Prof Dr Hermansyah Aziz, Prof Dr Syukri Arief dan Dr Syukri Darajad, serta the special one Prof Dr Zulkarnain Chaidir. Catatan emas yang tak cukup tertuang untuk menuliskan jalan jalan yang berlalu.

Jalan menuju puncak, berbelok dan butuh kesabaran. Di batas waktu kita bertanya, apakah berhenti bersama atau berjalan menapaki gunung terjal. Inilah waktunya untuk momentum kedua, menapaki doa dan cinta, kendati itu mengukir bayang dalam gelap. Nothing is impossible, just do it dan run! Apa yang terjadi empat tahun lalu, kemuskilan waktu jika berlandaskan logika. Puncaknya sudah terhenti di hari ini.

Puncak baru tampak jelas di depan mata. Puncak itu butuh keberanian untuk menapaki lagi jalan jalan sepi, dingin dan sendiri. Butuh keberanian untuk meloncat dari puncak hari ini ke dasar lembah puncak yang baru. Kosongkan dan rendahkan hati, untuk mengikhlaskan perjalanan berikutnya. Jangan merasa kesombongan karena itu membebani perjalanan yang butuh keikhlasan. Tak perlu menoleh dan mngingat kehebatan di puncak hari ini, ingatlah puncak baru berdirih tinggi menjulang melampau masa lalu.

Berhentilah dan buanglah rasa rasa bangga yang ada dan tersisa dari tahun tahun berlalu. Kembali ingat saatnya memulai baru tanpa bayang bayang dan pikiran semu. Perjalanan mendaki, adalah membunuh kegamangan bahwa kesenangan itu bukan tujuan, melainkan setiap hela nafas ketakutan akan kehidupan mendatang. Tuhan, berkahi dan bimbinglah selalu di jalan jalan sepi ini, tanpa ada lagi rasa angkuh menyelimuti diri.

Payakumbuh, 31 Desember 2018